News Update :

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM SUBSEKTOR KEHUTANAN PERSPEKTIF ISLAM

Minggu, 24 Oktober 2010

Indonesia merupakan negri yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) serta keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Indonesia memiliki hutan seluas 126,8 juta hektar (Walhi.or.id).

Wilayah hutan tropisnya terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas, tembaga dan mineral lainnya. Terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya ke-17.000 pulaunya. Lebih dari itu, Indonesia memiliki tanah dan dan area lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis ekologi. Menempati hampir 1.3 persen dari wilayah bumi, mempunyai kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga yang ada di dunia, 12 persen jenis binatang menyusui, 17 persen jenis burung, 25 persen jenis ikan, dan 10 persen sisa area hutang tropis, yang kedua setelah Brazil (world Bank 1994).

Begitu besarnya kekayaan alam Indonesia terutama sub-sektor kehutanan sudah seharusnya menjadi perhatian kita guna memanfaatkan dan melestarikannya. Terlebih ini harus diperhatikan dengan serius oleh para pemegang kebijakan negeri ini. Berbagai kerusakan lingkungan akibat eksploitasi, penebangan kayu ilegal, dan penjarahan kekayaan alam lainnya yang terjadi telah mengakibat berbagai kerusakan dan bencana. Bahkan membawa kerugian yang besar bagi Indonesia, dimana diperkirakan kerugian mencapai ratusan bahkan milyaran juta rupiah. Begitu juga seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan yang diperkirakan kehilangan pendapatan sebesar 100 juta per tahun dalam bentuk penghasilan karena lebih dari separuh dari produksi kayu dilakukan secara illegal (mongabay.com).

Penjarahan kekayaan alam terutama di sub-sektor kehutanan dengan maraknya penebangan kayu ilegal memang tidak terlepas dari aktivitas produksi perusahaan-perusahaan besar swasta. Dan bahkan diperkirakan 70-75% dari kayu ditebang secara illegal. Menurut WWF, penebangan kayu ilegal di Indonesia dimotori oleh beberapa faktor: Kapasitas perusahaan pemotongan kayu di Indonesia dan Malaysia yang berlebihan. Keduanya memiliki fasilitas untuk mengolah kayu dalam jumlah besar walau produksi kayu sendiri telah menurun sejak masa-masa tenang di tahun 1990an. WWF melaporkan bahwa kedua negara tersebut memiliki kemampuan untuk mengolah 58,2 juta meter kubik kayu setiap tahunnya, sedangkan produksi hutan secara legal hanya mampu mensuplai sekitar 25,4 juta meter kubik.

Sisa kapasitasnya digunakan oleh kayu yang ditebang secara illegal (mongabay.com).
Dominasi perusahaan swasta atas penguasaan kekayaan alam khususnya sub-sektor kehutanan merupakan permasalahan tersendiri. Dengan kekuatan kapital yang dimiliki sangat memungkinkan bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk mendapatkan hak atas penguasaan kawasan hutan, lahan, dan mengeksploitasinya sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Hingga mengakibatkan kerusakan areal hutan mencapai luas 56,98 juta hektar. Dana yang dibutuhkan merehabilitasinya pun tidak sedikit, diperlukan sampai Rp. 225 tiriliun, padahal dana yang dianggarkan di APBN untuk reboisasi hanya Rp. 7 triliun saja (Kompas, 23 Oktober 2000). Dan sangat dimungkinkan kerusakan hutan akan semakin bertambah yang kini diperkirakan mencapai 1,6 juta hektar per tahun.

Perusahaan-perusahaan swasta yang telah mendapat izin untuk mengeksploitasi sumber daya alam termasuk hutan mulai dari zaman orde baru sampai dengan sekarang telah menguasai jutaan hektar hutan di Indonesia. Menurut laporan Warta Ekonomi (Agustus, 1998), sebagian besar hutan di Indonesia sampai sebelum reformasi, sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Diantaranya, Grup Kayu Lapis milik Hunawan Widjajanto menguasai 3,5 juta hektar HPH, menduduki tempat teratas.

Urutan selanjutnya adalah Grup Djajanti Djaja milik Burhan Uray yang menguasai 2,9 juta hektar, Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu memegang 2,7 hektar, Grup Kalimanis milik Bob Hasan menguasai 1,6 juta hektar, PT Alas Kusumah Group menguasai 1,2 juta hektar, Sumalindo Group dengan luas 850.000 hektar, PT Daya Sakti Group dengan luas 540.000 hektar, Raja Garuda Mas Group dengan luas 380.000 hektar dan seterusnya. Dengan pola pengelolaan yang relatif tetap, kepemilikan HPH seperti tersebut di atas diyakini hingga kini belum banyak berubah.
Hasil hutan ini cukup menjanjikan bagi perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun tidak sampai menguasai sumber daya alam dalam bentuk hak milik. Sebagai contoh, menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya yang ketika itu adalah 2,5 milyar US Dollar (kini diperkirakan mencapai sekitar 7 – 8 milyar US dollar -- Kompas, 10 Februari 2001).

Konsep HPH yang dijalankan pemerintah dengan memberikannya kepada swasta ternyata juga membawa permasalahan. Dalam konsep tersebut, perusahaan yang mendapat HPH mendapat hak untuk mengeksploitasi hutan selama 35 tahun melalui Rencana Karya Tahunan (RKT). Penebangan kayu dilakukan per blok-blok secara berkeliling, dengan adanya penanaman kembali. Sehingga memerlukan orang-orang yang paham tentang persoalan kehutanan dan ekologi agar eksploitasi tidak membawa kerusakan. Namun kenyataannya, HPH ini diberikan kepada pihak yang tidak berkompeten. Akhirnya banyak dari kalangan yang mendapat HPH tersebut menggandeng perusahaan luar (sebagian besar dari Malaysia). Walhasil, yang terjadi adalah eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan asing.

Eksploitasi yang dilakukan para pemegang HPH sangat fantastis dalam rentang 10 tahun terakhir. Data memperlihatkan bahwa produksi kayu bulat mencapai 260,58 juta meter kubik, kayu gergajian 35,84 juta meter kubik, dan kayu lapis 98,052 juta meter kubik. Di sisi lain, ekspor kayu lapis Indonesia dalam 5 tahun terakhir mencapai 56,06 juta m3 dengan nilai devisa 18,73 milyar US$. Sayangnya, nilai devisa itu tidak dinikmati oleh rakyat, tidak juga oleh Pemerintah Daerah. Studi Walhi (1994) menunjukkan 85% keuntungan sektor kehutanan langsung dinikmati oleh para pengusaha, sementar sisanya oleh Pemerintah Pusat.

Tampak jelas bahwa hasil eksploitasi bukan untuk rakyat. Indikator ini dapat dilihat dari tenaga kerja yang terlibat dalam usaha perkayuan pada HPH terbilang sangat kecil, yakni hanya 153.438 orang pada tahun 1997. Sementara di pihak lain, ada sekitar 20 juta jiwa rakyat yang mengharapkan hidupnya dari sumber daya hutan mengalami kemiskinan yang berkepanjangan. Bahkan akibat kebakaran hutan dan lahan 1997-1998, mereka mengalami proses pemiskinan antara 40-73 persen dibandingkan sebelum kebakaran (Kelana Jaya, 2002). PT Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan lebih dari 50 juta hektar. Kerusakan itu makin menggila karena sering pula pengusaha hutan melakukan ijon.

Pada waktu HPH masih dalam proses atau dalam taraf surat keputusan pencadangan, mereka sudah melaksanakan transaksi dan mendapat fee dari mitra asing tersebut. Pada fase inilah terjadinya penjualan/penggadaian hutan Indonesia dengan mengabaikan segala aspek kelestarian dan fungsi sosial hutan. Inilah proses pembabatan hutan tropis di Indonesia melalui tebang habis Indonesia (THI). Ketentuan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) tidak ada dalam kamus mereka. Hutan produksi yang dicadangkan untuk HPH seluas 60 juta hektar dibabat habis. Akhirnya, rakyat yang memiliki hutan itu tidak kebagian apa-apa. Kini setelah puluhan juta hutan dibabat habis, rakyat masih harus terus menanggung derita akibat hutang negara yang berjibun jumlahnya (Yusanto, 2002).

Jelaslah bahwa pemberian HPH semacam ini tidak tepat. Fakta menunjukkan dengan pengelolaan hutan seperti ini, hasilnya hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang. Apalagi praktik yang terjadi di lapangan adalah eksploitasi secara ‘membabi-buta’, bahkan sangat memungkinkan merusak ekologi yang ada. Padahal hutan memiliki tiga fungsi yang harus diperhatikan yaitu, ekonomi, ekologi, dan social. Mau tidak mau pemerintah harus meninjau ulang lagi kebijakan tersebut. Begitu juga kebijakan terhadap pembukaan akses eksploitasi kekayaan alam lainnya semisal barang tambang, minyak, dan kekayaan alam lainnya. Padahal dalam UU sendiri pada pasal 33 ayat 3 dikatakan bahwa kekayaan alam yang ada harus dikelola oleh Negara dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Maka jika kebijakan yang diambil pemerintah menyalahi konstitusi atau tidak pro rakyat tentu harus ditinjau kembali.

Pengelolaan SDA Sub-Sektor Kehutanan Dalam Islam
Dalam pandangan Islam, hutan adalah milik umum yang harus dikelola oleh Negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau dalam bentuk subsidi kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan hutan dalam Islam berbasis pada pengelolaan kepemilikan umum oleh Negara dan bukannya pengelolaan yang berbasis swasta dengan tetap berorientasi pada kelestarian lingkungan. Pengelolaan semacam ini juga dilakukan pada SDA lainnya dan tidak hanya terbatas pada sub-sektor kehutanan saja. Sehingga akan mewujudkan keseimbangan lingkungan dan pemanfaatan SDA secara optimal.

Pandangan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh An-Nabhani (1990) didasarkan pada hadits Rasul SAW: “manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput (lahan) dan api (energi)” (HR. Abu Dawud). Dalam hadits yang lain riwayat At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal diceritakan bahwa Abyadh telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul mengabulkan permintaan tersebut, akan tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Dalam hadits pertama disebutkan padang rumput atau hutan merupakan kepemilikan umum yang tidak diperbolehkan untuk dimiliki individu.

Lahan yang luas (hutan) disamakan dengan air dan api atau energi (termasuk barang tambang) dalam sektor kepemilikan umum. Larangan ketiga unsur tadi untuk dikuasai oleh individu karena adanya larangan Rasul pada hadits yang kedua. Pada hadits tersebut disebutkan bahwa Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Semula Rasul membolehkan Abyadh memiliki tambang garam, namun setelah Rasul mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar maka Rasul mencabut pemberian tersebut. Karena kandungannya yang begitu besar tambang tersebut dikategorikan milik umum.

Begitu juga halnya dengan lahan atau hutan yang cukup besar kandungannya (berupa kayu dan hasil hutan lainnya) dikategorikan dalam milik umum sebagaimana yang disebutkan pada hadits pertama di atas. Dan semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Begitu lah regulasi pengelolaan SDA dalam Islam sangat memperhatikan aspek kepemilikan. Terhadap SDA yang memberikan hasil yang melimpah dan menyangkut hajat hidup orang banyak hanya boleh dikelola Negara dan hasilnya pun dikembalikan kepada rakyat.

Penutup
Sudah selayaknya pengelolaan sumber daya alam khususnya sub-sektor kehutanan didukung dengan regulasi yang tepat dari pemerintah. Karena regulasi merupakan syarat utama bagi berjalannya sistem pengelolaan sumber daya alam tersebut. Pemanfaatan hutan dan hasil hutan harus dikelola oleh Negara dan dikembalikan hasilnya kepada rakyat. Karena hakikatnya hutan merupakan milik umum yang hasilnya bisa dinikmati oleh rakyat secara keseluruhan. Tentu tidak hanya terbatas pada hutan saja namun seluruh kekayaan alam yang berlimpah harus dikelola Negara, sehingga ada pembatasan kepemilikan terhadap individu. Karena sesungguhnya pembatasan kepemilikan ini dimaksudkan agar distribusi kekayaan alam bisa merata di masyarakat dan tidak dinikmati oleh segelintir orang saja (Kusnadi Yulham, Sahabat lamaku dan teman satu kamar suka dan duka. Gimana kabarmu kawan ?)

Referensi:
An-Nabhani, Taqyuddin (1990). Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Penerbit Risalah Gusti. Surabaya Yusanto, Ismail (2002). Pengelolaan SDA Dalam Islam. SEM Institute. Jakarta http://www.mongabay.com. 2008. Menebang Hutan di Borneo. http://www.walhi.or.id. 2007. Kerusakan Lingkungan sebagai Dampak Kebijakan Pro Modal dan Anti RakyatKelana Jaya, Tun. 2002. Ada Apa Dengan Pengelolaan SDA?. SEM Institute. Jakarta

Source : Kabar Indonesia


Share this Article on :
 

© Copyright SEPEDA PANCHAL 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.